Tertikam Mimpi [By : Desii LoveJdrew Bieber]

Hey hey.. cerpennya datang lagi nih hehe #apakali :D
Dibaca ya ya ya.. kritik dan sarannya jangan lupa loh.
Happy reading :)

“Bukankah hidup ini sangat menyenangkan ??” ucap seorang mengejutkanku dari belakang. “Reza ??” aku membalikan badanku dan menemukan Reza tengah berdiri tepat dibelakangku. “Iya aku, kenapa ?? apa kau terganggu dengan kedatanganku ??” tanyanya seraya membungkukan badannya dan mendekatkan mulutnya ditelingaku. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar karna tadi aku sempat tertidur dikursi taman belakang sekolahku, hanya diam mendengar apa yang dia katakan. Suasanapun hening sejenak, Reza yang merasa belum mendapatkan jawaban dari pertanyaannya barusan pun mulai memecah keheningan lagi dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya.

“Terang iya, kau memang selalu ingin sendiri bukan ??” tanyanya lagi, kali ini dia berpindah posisi dan duduk disampingku. “Kau sudah tahu jawabannya bukan ?? lalu untuk apa kau tanyakan ?? enyahlah.. aku mengantuk.” jawabku menatap tajam matanya. Ku pikir dia akan kalah dan pergi setelah aku menatap tajam matanya, tapi dia malah balik menatap mataku tak mau kalah. Aku yang tak tahan lagi melihat pancaran tajam sinar matanya pun segera memalingkan wajahku. “Hahaha.. kau kalah nona manis.” ucapnya, tak ketinggalan juga dengan tawa piciknya. Aku masih memalingkan wajahku, menahan malu, berpura-pura tak tahu.

“Ayolah.. bangun Ara. Hidup ini sangat indah, lihatlah burung-burung yang terbang diatas langit sana. Mereka memanggilmu Ara, mengajakmu untuk ikut terbang bersama mereka.” katanya lagi sok bijak. “Mereka punya sayap Reza, sedangkan aku ?? kau lihat, apa kedua tanganku ini terlihat seperti sayap ??” ucapku seraya mengepakan kedua tanganku, berharap Reza sadar kalau aku tidak bersayap. “Tapi bukan itu maksudku nona Ara.” ucapnya lagi tak mau mengalah. “Lalu ??” aku mendekatkan wajahku pada wajah Reza. “Kau tahu kenapa orang tuamu memberimu nama Devika Mutiara ??” tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku, aku memang tidak pernah bertanya pada mereka apa arti dari namaku itu. “Bodoh.” ucapnya seraya memalingkan wajahnya. Aku yang tak terima dikatakan seperti itu pun bangkit dari tempat duduku, dan berniat pergi mengakhiri perbincangan konyol itu. Tapi Reza menahanku dan menyuruhku duduk kembali.

“Devika itu berarti peri kecil yang cantik, dan Mutiara itu berarti sebuah benda yang sangat berharga.” ujarnya. “Jadi ??” aku masih belum paham dengan perkataannya. Ya, aku memang bukan seorang gadis yang pintar. “Jadi kau adalah seorang peri kecil yang cantik dan sangat berharga Ara. Orang tuamu ingin kau menjadi seseorang yang berguna, berprestasi dan banyak lagi, bukan untuk terus bermimpi seperti ini.” ucapnya menatapku. “Tapi mimpi itu hidupku.” tegasku seraya meninggalkan Reza. Rasanya sudah cukup aku membahas hal yang tak penting seperti ini. Lebih baik aku pergi dan melanjutkan mimpiku yang belum usai.

Aku pun kembali ke kelasku karna jam istirahat hampir selesai. Aku memang berbeda, jika remaja lain memilih pergi ke kantin atau mengobrol bersama temannya saat jam istirahat, aku justru mencari tempat yang sepi dan hanya ada aku sendiri untuk kembali melanjutkan mimpiku yang belum berakhir karna dibangunkan sang mentari tadi pagi.

***

“Teng teng..” bel tanda jam pelajaran berakhirpun berbunyi. Akupun bergegas membereskan barang-barangku dan segera pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi aku bertemu dengan Reza saat aku hendak mengambil sepedaku diparkiran, sepertinya dia memang sengaja menungguku. Entah ada apa, akhir-akhir ini dia memang sering menemuiku hanya untuk sekedar menanyakan kabarku, atau lebih seringnnya mengganggu ketenanganku. Tapi meski begitu aku merasa senang, karna itu berarti dia peduli padaku dan bisa jadi merasakan hal yang sama seperti yang ku rasakan.

“Kau lagi ??” sinisku pada Reza. “Mungkin kita memang ditakdirkan untuk selalu bertemu nona manis.” ucapnya cengengesan. “Sudahlah Za, aku lelah, aku ingin pulang, jadi jangan kau ajak aku membicarakan hal-hal konyol itu lagi.” ucapku lemas. “Lelah kau bilang ?? selama ini kerjamu itu hanya tidur nona Ara, bagaimana bisa kau merasa lelah ?? haha..” katanya seraya pergi meninggalkanku. Begitupun aku, dengan rasa kesal yang masih menggebu aku segera berlalu dari tempat itu.

“Assalamualaikum…” aku membuka pintu rumahku. “Walaikumsalam..” jawab seorang wanita yang sudah berumur namun tetap terlihat cantik, yang tak lain adalah Ibuku. Usianya memang sudah tidak muda lagi, mungkin sudah kepala 4 bahkan 5. Dia terlihat sedang menyapu lantai rumah yang sudah dimakan waktu ini. Rumah tua yang sebenarnya sudah tak layak huni, tapi apa daya, Ayahku hanya seorang pegawai Negri biasa, dan Bunda hanya seorang Ibu rumah tangga. Kami tidak punya cukup uang untuk membeli rumah yang lebih layak dari ini. Gaji Ayah paling hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari dan juga biaya sekolahku. “Makan dulu Ra..” suruh Bunda saat aku mencium punggung tangannya yang mulai keriput itu. “Nanti saja, Ara mau tidur.” ucapku seraya pergi ke kamarku.

Itulah aku, tidur adalah aktivitas rutinku. Bagiku tak ada hal lain yang menyenangkan didunia ini selain tidur. Karna hanya saat tidurlah aku bisa bermimpi menjadi apapun yang aku mau, melakukan apapun yang aku suka. Bagiku mimpi itu adalah hidupku yang sebenarnya. Meski mimpi itu akan berkahir saat pagi menjelang, itu tak masalah untuku. Karna esok malam aku masih bisa bermimpi lagi, mungkin mimpiku akan lebih indah dari malam sebelumnya.

***

“Ara.. bangun nak, sudah pagi.” Bunda menggoyang-goyangkan badan mungilku yang enggan bangun juga. Membangunkanku memang hal yang paling sulit. Aku terlalu terlelap menikmati mimpiku, sampai-sampai aku lupa kalau aku masih harus menjalani kehidupan nyataku. “Iya Bunda, sebentar lagi.” jawabku masih dengan mata yang tertutup. Inilah sebabnya kenapa aku sangat membenci pagi. Aku benci harus mengakhiri mimpiku yang belum usai. Seharusnya pagi memberiku kesempatan untuk menyelesaikan mimpiku dulu, setelah itu baru dia menyuruh mentari menampakan dirinya.

Matahari semakin menjulang tinggi, itu berarti aku harus segera berangkat sekolah kalau tak mau mendapat masalah nanti. Setelah berpamitan pada Ayah dan Bunda, akupun mulai mengayuh sepedaku seperti biasanya. Dengan sepeda tuaku, aku bisa sampai ke sekolah dalam waktu kurang lebih 20 menit.

“Selamat pagi nona manis.” sapa Reza yang kini berdiri tegap didepan kelasku layaknya sedang menyambut seorang Ratu. “Selamat pagi juga tuan tampan.” sapaku balik. “Bagaimana tidurmu malam ini ?? apa kau bermimpi indah, atau sebaliknya ??” tanyanya antusias. Mendengarnya bertanya seperti itu, aku teringat akan mimpiku tadi malam. Mimpi terburuk yang pernah ku alami. Bermimpi bertemu dengan seseorang yang akhir-akhir ini selalu mengusik ketenanganku. Reza, ya tak lain orang itu adalah Reza. Tapi dalam mimpi itu bukan hal baik yang terjadi, melainkan hal buruk.

“Hey nona manis.” gertak Reza mambuyarkan lamunanku. Aku tak sadar Reza masih berdiri disana sedari tadi. “Maaf tuan tampan, aku sedang buru-buru sekarang, ada sesuatu yang harus ku kerjakan.” ucapku seraya pergi meninggalkan Reza. “Jangan tidur lagi nona manis, ini masih pagi, kau baru saja bangun. Lebih baik kau mengerjakan PRmu.” teriak Reza. Reza benar, ada PR kimia hari ini, dan tentu saja aku belum mengerjakannya. Dengan otaku yang pas-pasan, mustahil rasanya aku bisa mengerjakan soal-soal yang sangat susah itu.

“Brukk..” aku membantingkan tubuh mungilku pada sebuah kursi di taman belakang sekolah, tempat biasa yang selalu ku kunjungi saat istirahat tiba. Aku masih terbayang akan mimpi ku tadi malam. Biasanya aku tak pernah sampai seperti ini memikirkan mimpiku. Tapi kali ini mimpi itu benar-benar berhasil membuat pikiranku melayang tak karuan. ‘Kenapa harus Reza ?? kenapa dia yang ada dalam mimpi tragis itu ??’ harghh.. pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung mendapatkan jawabannya. Berlama-lama terlelap dalam lamunan panjang itu, membuatku terlelap juga dalam tidurku.

“Reza..” jeritku. Mimpi itu, aku bermimpi lagi. Lagi-lagi mimpi tragis itu yang menghiasi tidur pagiku kali ini. “Tuhan.. pertanda apa ini ??” batinku ikut bicara. Bagaimana tidak, untuk kedua kalinya aku bermimpi bertemu Reza lagi, dan tragisnya dalam mimpi itu Reza mengajaku pergi ke suatu tempat, tapi bukan tempat yang indah seperti yang selama ini aku impikan, melainkan ke sebuah tempat dimana hanya terdapat gundukan-gundukan tanah di tempat itu. Lalu Reza mengeluarkan sebuah benda tajam yang sepertinya sudah lebih dulu dia persiapkan dipunggungnya, kemudian benda itu dia dekatkan tepat diatas perutku, lalu dia berkata “Kau harus mati nona manis, kau tak pantas hidup.” Dan “Aaaaa…” pisau itupun ditusukan ke perutku.

“Tidak tidak, itu hanya mimpi. Hanya mimpi Ara, tak mungkin Reza akan melakukan itu.” lirihku panik. Akupun segera bangkit untuk kembali ke kelas. Aku meninggalkan jam pelajaran pertama dan keduaku karna ketiduran tadi. Belum sempat aku beranjak, Reza keburu datang dan lagi-lagi mengejutkanku dari belakang. “Mau ke mana nona manis ??” ujarnya mengejutkanku. “Reza ??” ucapku panik. “Hey ada apa denganmu Ara ?? kenapa wajahmu begitu pucat ?? dan kau seperti takut melihatku ??” tanyanya penasaran. “Ahh ti.. tidak, aku tak apa. Aku harus pergi.” jawabku mangkir dan segera berlari dari tempat itu. Aku masih terhantui mimpi itu. “Nona manis.. mengapa kau meninggalkanku ??” teriaknya. Tapi tak ku pedulikan itu, aku terus melangkah mengukir jejak ditanah dengan kaki mungilku. Tak terasa akupun sudah sampai didepan pintu kelasku. Kini saatnya untuku memulai kembali mempekerjakan otaku dengan pelajaran-pelajaran yang tidak ku sukai, yaitu biologi, fisika dan matematika.

***

Setelah setengah hari penuh melaksanakan tugasku disekolah, sekarang tiba saatnya aku untuk pulang dan beristirahat dirumah. Dengan sepeda tuaku, akhirnya aku tiba juga dirumah. Tapi ada sesuatu yang tak ku suka saat aku tiba dirumah hari ini. Reza.. dia ada disana, tengah duduk dan berbincang-bincang ria dengan kedua orang tuaku. Meskinya aku memang senang karna untuk pertama kalinya Reza datang ke rumahku, tapi justru malah sebaliknya. Aku malah takut, takut akan mimpiku. Aku terlalu mencintai Reza sampai-sampai aku tak bisa membayangkan bagaimana kalau seandainya mimpi itu terjadi.

“Ara.. kenapa melamun, ayo masuk nak, Reza sudah menunggumu sedari tadi.” ajak Ayah yang menyadari kalau aku sudah pulang dan melamun dibalik pintu sedari tadi. “Iya Yah..” ucapku lemas. Akupun duduk disamping Reza. Ayah dan Bunda yang mengerti kalau ini urusan anak mudapun meninggalkan kami. Reza menatapku tajam. Melihat tatapan matanya aku malah semakin terhantui mimpi itu. “Kenapa kau menatapku begitu ??” tanyaku pada Reza yang enggan juga mengalihkan pandangannya. “Haha.. kau ini lucu Ara. Melihatku seperti seekor harimau yang akan menerkamu.” gurau Reza yang kini mulai mengalihkan tatapan matanya yang tajam itu. “Apa maksudmu ??” tanyaku heran. “Hari ini kau terlihat seperti menjauhiku Ara, itu maksudku. Kau seakan takut melihatku. Ada apa ?? apa ada yang salah denganku ??” jelas Reza. “Lebih baik kau pulang, hari sudah sore.” alihku mengalihkan pembicaraan. “Baik kalau kau memang tak ingin bercerita. Tapi aku mau kau makan malam denganku malam ini, aku akan menjemputmu jam 8. Ku harap kau tidak menolaknya Ara.” ujar Reza seraya beranjak pergi.

***

Hari berlalu begitu cepat, kini jarum jam sudah berada pada sebuah angka yang ku harap tak pernah ada. Jam 8, itu berarti sudah saatnya aku memutuskan untuk pergi atau tidak. Sebenarnya ingin sekali aku pergi, ya tentu saja. Makan malam bersama orang yang ku cintai, bagaimana bisa aku menolaknya. Tapi, aku masih terhantui mimpi buruk itu. Mimpi yang seharian ini terus mengusik hati dan pikiranku.

Meski ragu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi makan malam bersama Reza dan melupakan sejenak akan mimpi buruk itu. Tak berapa lama, Rezapun datang menjemputku. Dengan rasa takut akupun keluar dan membukakan pintu. Ku lihat seorang pria tampan sudah terjaga disana dengan setangkai mawar merah ditangannya. “Ini untukmu Ara.” ucapnya seraya memberikan mawar itu padaku. Setelah berpamitan pada Ayah dan Bunda akupun pergi makan malam bersama Reza.

Sekitar 15 menit dalam perjalanan, kamipun tiba didepan sebuah café yang cukup bagus. Reza menggandeng tanganku dan membawaku masuk kedalam café itu. Tapi ada yang aneh saat aku memasuki café yang biasanya ramai dipenuhi oleh makhluk adam, kini terlihat begitu sepi. Hanya lilin-lilin kecil yang menyala, juga alunan musik klasik yang terdengar. Reza mempersilahkanku duduk pada sebuah kursi yang mejanya sudah dipenuhi pernak-pernik mulai dari bunga, lilin, dan lain sebagainya. Kamipun memulai acara makan malam kami.

Dalam pertengahan makan malam itu, tiba-tiba semua lilin yang menyala disekelilingku meredup dan padam, kecuali satu lilin yang ada dimejaku. Alunan irama yang indahpun kini tak lagi terdengar. Pancaran Rona bahagia yang sedari tadi menyelimuti wajahkupun kini memudar dan berganti menjadi rona ketakutan. Ya mimpi itu datang mengusiku lagi, menghantui setiap langkahku malam ini. Saking terlelapnya dalam rasa takut itu, aku tak menyadari kalau Reza yang sedari tadi duduk dihadapanku kini menghilang begitu saja. Rasa takut yang bersarangpun kini semakin menjelma. Tanpa diperintah lagi, kakiku pun bangkit dan berniat ingin berlari. Tapi sebuah tangan kini melingkar dipinggangku dan menahan kakiku yang sudah ingin berlari sedari tadi. Akupun tersentak dan segera berbalik badan menghempaskan belitan tangan itu. “Reza..” ucapku panik melihat Reza yang ternyata memeluku. “Iya, ini aku nona manis.” ucapnya lembut. “Ma.. mau apa kau ??” tanyaku panik. Kepanikan itupun semakin mencapai puncaknya saat aku melihat Reza menyembunyikan kedua tangannya dibalik punggungnya. Selangkah demi selangkah Reza mulai mendekatiku persis seperti yang ada dalam mimpiku. Semakin Reza mendekat, aku semakin menjauh. Tapi Reza enggan menyerah, dia malah semakin mendekat dan mendekat. Dan mimpi buruk itupun semakin terasa nyata sekarang. Secara tak sengaja tanganku menemukan sebuah pisau dimeja, tanpa pikir panjang akupun mengambilnya dan menusukannya tepat di dada sebelah kanan Reza. Ku pikir aku harus membunuhnya terlebih dulu sebelum dia membunuhku.

“Ara, aku mencintaimu.” ucap Reza seraya menyerahkan seikat bunga mawar merah yang kini semakin memerah yang sedari tadi disembunyikan dibalik punggungnya. Ya ternyata bunga itu, bunga itu yang Reza sembunyikan dibalik punggungnya, bukan sebuah pisau seperti yang ada dalam mimpiku. “Re.. Reza..” lirihku parau. “Sekarang aku tahu kalau cinta itu memang butuh pengorbanan Ara. Aku harus mengorbankan nyawaku dulu baru aku bisa mengatakan cintaku padamu setelah sekian lamanya ku pendam.” ucap Reza lemah. “Maafkan aku Reza..” ucapku diiringi isak tangis yang tak ku sadari sudah membasahi pipiku sedari tadi. “Tidak Ara.. jika dengan mencintaimu aku harus merelakan nyawaku, aku rela, asal kau bahagia. Didada ini, didada yang kau tusuk ini ada ketulusan cinta yang tak akan pernah pudar untukmu Ara. Ara.. aku mencintaimu tanpa ragu dan menyesal.” ucap Reza terputus-putus menahan rasa sakit. “Aku juga mencintaimu Reza.” lirihku pelan. “Aku tahu.. aku tahu Ara.” ucap Reza tersenyum dan menghembuskan nafas terakhirnya. “Reza..” jeritku seraya mendekap Reza dalam pelukanku.

Kini Reza sudah pergi, pergi bersama mimpi buruk itu. Mimpi yang sudah merenggut nyawa orang yang ku cintai, mimpi yang dengan lancangnya sudah berani menikamku dan mengahantui ku dengan bayang-banyangnya. Mimpi yang selama ini ku anggap sebagai kehidupan terindahku, ternyata hanya bayang-bayang semu. Mimpi yang selalu punya alasan untuk ku banggakan, kini malah menusuku. Mimpi yang membuatku memilih untuk mengakhiri hidupku juga. Aku mencabut pisau yang kini tertancap didada sebelah kanan Reza dan menusukannya ke dada sebelah kiriku. Jika dada kanan Reza yang tertusuk, itu berarti dada kiriku juga harus tertusuk. Karna kanan itu takan lengkap tanpa kiri, begitu juga kiri takan lengkap tanpa kanan. Meski berlumuran darah, cintaku dan cinta Reza takan pernah terhanyut di dalamnya. Justru cinta kami akan semakin memerah terlunturi darah itu.

http://www.facebook.com


Category Article

What's on Your Mind...